Jumat, Juli 11, 2008

Inspirasional

REFLEKSI ISRA’ MI’RAJ

DALAM PERSPEKTIF KEPEMIMPINAN ISLAM DI DUNIA1





Isra’ dan Mi’raj merupakan peristiwa besar dalam sejarah da’wah Rasulullah SAW. Terdapat banyak hikmah yang terkandung dalam peristiwa tersebut, yang sekaligus merupakan mu’jizat terbesar setelah Al-Quran. Di antara hikmah yang nyaris tidak pernah disinggung dalam sebagaian besar tulisan para ulama, adalah kajian Isra’ Mi’raj dalam konteks kepemimpinan berbagai uraian hikmah Isra’ Mi’raj. Tulisan ini akan membahas hikmah Isra’ dan Mi’raj dalam tinjauan kepemimpinan politik dan sosial kemasyarakatan yang diisyaratkan kepada Rasulullah saw dan umat Islam atau umat manusia di seluruh alam.



1. Isyarat Kepemimpinan Rasulullah SAW


Jauh sebelum Rasulullah SAW diangkat menjadi rasul sampai terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’raj, dunia berada di bawah kepemimpinan Bani Israil. Saat itu kita juga mengetahui bahwa di dunia ini hanya ada dua agama besar yang pengaruhnya sangat dominan, yaitu Yahudi dan Nasrani, keduanya adalah agama Bani Israil. Namun dalam perjalanan mata rantai sejarah yang demikian panjang, Bani Israil maupun kedua agama tersebut tidaklah layak lagi memimpin dunia. Ada beberapa sebab mengapa mereka tidak laik untuk mengemban kepemimpinan dunia tersebut. Diantaranya - dan terutama- adalah lantaran mereka telah mengubah syariat agama Allah SWT untuk kemudian mereka jual ayat-ayatNya itu dengan harga murah. Selain itu mereka telah mengubah isi dan maksudnya sehingga kedua agama tersebut tidak mungkin lagi dikatakan sebagai masih murni alias asli seperti pada mulanya. Allah SWT berfirman:


Maka celaka besarlah bagi siapa saja orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ‘Ini (wahyu) dari Allah’ (yang maksudnya tidak lain hanyalah) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatannya itu. Celaka besarlah bagi mereka itu akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan celaka besarlah bagi mereka akibat apa yang mereka kerjakan itu” (QS. Al Baqarah 79)

Oleh karena itu, kedua syariat agama itu tidak pantas lagi untuk diterapkan, sehingga dengan sendirinya tidak layak untuk memimpin dunia. Sikap dan tidakan para pemuka maupun pengikut kedua agama tersebut menyebabkan adanya keharusan untuk menanggalkan tongkat kepemimpinan, yang untuk selanjutnya mengalihkannya kepada suatu umat lain yang dipilih Allah SWT untuk mengemban beban amanah risalah-Nya.


Tentunya, kalau kita berbicara tentang syariat dan tongkat kepemimpinan, maka yang kita permasalahkan adalah karakter dan bentuk syariat agama yang lebih layak diterapkan serta berkuasa untuk memimpin dunia, dibandingkan dengan kedua syariat terdahulu, serta menetapkan kualitas yang bagaimana yang mampu menjadi penguasa.


Syariat/agama dan kepemimpinan adalah dua masalah utama yang harus segera dipecahkan secara tegas dan tuntas sebelum sebuah negara ditegakkan. Sebab, kita mengetahui bahwa untuk tegak dan kokohnya suatu bangunan negara diperlukan dua tiang utama yang kokoh. Pertama, negara memerlukan suatu sistem dan aturan yang mapan yang dapat diterapkan sekaligus sesuai dengan fitrah manusia. Sistem dan aturan ini dianut (diakui) dengan suka rela oleh rakyatnya tanpa sedikitpun ada unsur paksaan dalam penerapan maupun penerimaannya. Dengan kata lain, rakyat menerapkannya dengan penuh kesadaran dan semangat.

Kedua, sistem dan aturan itu menghendaki adanya penguasa yang ikhlas dan jujur. Dialah yang bertanggung jawab melaksanakan sistem dan aturan yang ada.


Dalam konteks kepemimpian ini, dapatlah kita mengerti mengapa dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, saat Rasulullah SAW disodori minuman oleh Jibril as untuk memilih dua minuman air susu dan khamar, beliau memilih air susu yang sesuai dengan fitrah manusia. Artinya, orang yang sehat akalnya akan memilih air susu ketimbang cairan khamar. Hal ini langsung dipertegas oleh perkataan Jibril as, menguatkan pilihan Rasulullah SAW terhadap minuman tersebut.


Semua hikmah di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa peraturan yang diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah SAW untuk manusia, adalah sebuah peraturan yang akan dijadikan sebagai landasan bagi negara dalam perspektif Islam. Ia akan menjadi satu-satunya asas dalam masalah penerapan hukum yang akan diberlakukan oleh Rasulullah SAW beserta umatnya, setelah beliau wafat, bahkan untuk sepanjang masa hingga akhir jaman. Tetapi yang penting adalah bahwa peraturan/ syariat agama tersebut adalah sesuai fitrah manusia.


Juga patut diketahui pula bahwa fitrah manusia itu tidak pernah akan berubah sampai kapanpun. Dalam hal ini apabila manusia dihadapkan kepada dua pilihan ekstrim, misalkan madu dan racun, maka orang yang berakal sehat pasti akan memilih madu dari pada racun. Dengan demikian, peraturan yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW adalah tetap abadi dan kekal keberadaannya, tidak berubah-ubah. Oleh karena itu, peraturan (syariat) Islam akan kekal selama manusia masih hidup di bumi.


Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, dimana Rasulullah SAW telah memimpin (menjadi imam) para nabi dalam shalat sunnah khusus; merupakan suatu pertanda adanya perubahan politik yang paling mendasar dan radikal. Dengan adanya kejadian ini, maka pola kepemimpinan dari Bani Israil telah dialihkan kepada Rasulullah SAW dan umat Islam. Kejadian tersebut bagi kita menandakan bahwa syariat dan nilai-nilai hidup yang telah usang dan rusak ( karena perbuatan Bani Israil sendiri) diganti dengan syari’at dan nilai-nilai hidup yang baru, adil serta sesuai dengan fitrah manusia. Dia adalah Syari’at dan Nilai-nilai Islam.


Pengalihan pola kepemimpinan dari Bani Israil sesungguhnya adalah langkah yang tepat dan wajar, mengingat dan memperhatikan tingkah laku Bani Israil yang tidak terpuji, semisal tindakan mereka membunuh beberapa orang nabi, mengubah-ubah syari’at agamanya (Yahudi dan Nashrani), membuat keonaran dan kerusakan di atas bumi, serta perbuatan tercela lainnya. Pengalihan kepemimpinan dunia dari tangan Bani Israil itu ternyata telah diberkahi (disetujui) oleh para nabi dengan tindakan mereka menjadi makmum dibawah komando Rasulullah saw (sebagai imam) dalam shalat khusus tersebut. Selain itu, landasan politik ini telah memberikan hak kepada negara Islam (yang kelak kemudian hari ditegakkan oleh Rasulullah saw di Madinah, yaitu tahun ke-13 dari kenabian) untuk mengikis habis gerakan permusuhan orang-orang Yahudi, Nasrani, serta orang-orang yang tidak menyenangi adanya syari’at nilai-nilai baru ini. Dalam catatan sejarah, sejak tahun ketiga Hijriyah, Rasulullah saw telah mulai dihadapkan kepada gerakan permusuhan tersebut.


Dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah saw, kepemimpinan beliau dalam shalat dengan para nabi, kemudian Mi’raj Rasulullah saw ke langit yang tertinggi, dan shalat khusus beliau di beberapa daerah (Yatsrib/Madinah, Madyan/Thur Sina di Mesir, Baithlehem dan Baitul Maqdis di Palestina), adalah isyarat kepemimpinan dan seluas apa nantinya wilayah negara Islam yang dirintis Rasulullah saw tersebut.


Ternyata, semua titik-taut wilayah tempat Rasulullah saw melakukan shalat akhirnya menjadi bagian Daulah Islamiyah yang tegak di Madinah; kekuasaan Islam akan mencapai daerah-daerah itu dan menguasainya. Sedangkan shalat khusus daerah masjidil aqsha ini akan menjadi kiblat pertama bagi kaum Muslimin dalam melakukan shalat berjamaah, ia menjadi bagian dari kekuasaan Islam.



2. Kepemimpinan Rasulullah Menyatukan Selu-ruh Bangsa/ Manusia


Kepemimpinan Rasulullah saw di dalam Shalat tersebut terhadap para nabi yang mempunyai keturunan dan ras bangsa yang berbeda, menunjukkan bahwa Daulah Islam dengan Syari’atnya yang manusiawi akan mampu mengayomi seluruh umat manusia tanpa harus membedakan warna kulit atau kesukuan. Semua suku dan bangsa akan hilang perbedaannya dan akan menjadi satu dalam wujud kesatuan Iman dan Islam. Semua manusia yang berlainan tersebut akan tunduk di bawah naungan Satu Syari’at, yaitu syari’at yang berasal dari Allah SWT. Rasulullah saw telah menetapkan prinsip tersebut setelah beliau mendirikan Daulah Islam di Madinah. Beliau bersabda di hadapan kaum Muslimin pada waktu Haji Wada di padang Arafah (dekat kota Makkah).


Wahai manusia, sesungguhnya Rabbmu satu dan ayahmu juga satu. Kalian semua berasal dari keturunan Adam sedangkan Adam berasal dari tanah. (ketahuilah) yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah SWT adalah orang-orang yang paling bertaqwa kepadaNya. Tidak ada suatu keistimewaan untuk seorang bangsa Arab terhadap bangsa ‘Ajam (non Arab) kecuali taqwanya” (HR. Imam Baihaqi).

Prinsip ini ditegaskan oleh Rasulullah saw secara praktis dan bijaksana ketika beliau melaksanakan Hukum/Syari’at Islam atas seluruh rakyat tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Mereka mendapatkan bagian dan kedudukan sama dalam hak dan kewajibannya.


Oleh karena itu, Rasulullah saw pernah menegur Abu Dzar (seorang shahabat yang telah berjasa mengislamkan suku Ghiffar dari suku Aslam) lantaran telah mencela Bilal (seorang shahabat mantan budak dari Habasyah) sebagai “Anak perempuan hitam”. Rasul pun secara tegas menolak “grasi” yang dimintakan oleh kesayangan Beliau saw, Usamah bin Zaid, terhadap seorang wanita dari kalangan bangsawan Quraisy yang melakukan tindakan pencurian. Bahkan Beliau saw menegaskan:


Sekalipun Fathimah putri Rasulullah saw mencuri, pasti akan kupotong tangannya”.


Dan terhadap orang-orang kafir dzimi, orang non muslim yang mau tunduk kepada hukum-hukum Islam sebagai warga negara Islam, beliau bersabda:


Siapa saja yang mengganggu seorang kafir dzimi, berarti dia telah menggangguku”.


Demikianlah keadilan dan ketegasan kepemimpinan Rasulullah. Kepemimpinan yang jujur dan konsisten. Kepemimpinan yang tegak di atas fondasi keimanan kepada Allah yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana. Kepemimpinan yang hanya menjalankan syari’at Allah SWT tanpa pandang bulu. Syari’at Islam, syari’at yang sesuai dengan fitrah manusia.


Oleh karena itu, bukankah sudah saatnya bagi kaum muslimin, kembali tunduk kepada kepemimpinan seperti itu, dan meninggalkan kepemimpinan-kepemimpinan yang hanya melaksanakan perintah-perintah hawa nafsu maupun perintah-perintah syaithan (dari kalangan jin dan manusia). Cukuplah ungkapan ayat-ayat Al-Qur’an terhadap kisah umat-umat terdahulu menjadi pelajaran buat kita. Allah SWT berfirman :


Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi sesat. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Hadiid[57] : 16)

(harri Mukti)

Tidak ada komentar: