Senin, Agustus 18, 2008

terorism

ISU TERORISME BASI

Isu terorisme –entah secara alami atau dimanipulasi- sering mencuat pada moment-moment tertentu. Isu terorisme sepertinya tidaklah muncul secara spontan melainkan ‘dimunculkan’ berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu. Ketika marak protes dari rakyat terkait kenaikan BBM, maka ujug-ujug tersiar kabar heboh penangkapan para ‘teroris’ di Palembang, Sumatra Selatan. Pun ketika ummat Islam ‘berteriak’ kencang meminta pemerintah membubarkan Ahmadiyah, kok tiba-tiba tersiar kabar kaburnya gembong teroris bernama Kastari ke Indonesia dari penjara super ketat Singapura. Jadi, pantas untuk kita analisa secara cermat di balik kemunculan (kembali) isu terorisme ini. Paling tidak kita bisa menganggap pemunculan isu terorisme sebagai upaya mengalihkan perhatian publik. Sehingga diharapkan publik yang awalnya antipati menjadi simpati kepada pemerintah. Bisa jadi juga pemunculan isu terorisme sebagai salah satu ikhtiar untuk membendung arus kebangkitan Islam yang saat ini telah menunjukkan geliatnya di negeri ini.

Semua kita tahu bahwa isu tentang terorisme pertama kali digempar-gemborkan oleh AS dan sekutu-sekutunya. Dan isu terorisme mencapai klimaksnya ketika terjadi peristiwa kontroversional 11 September 2001. Dengan dalih untuk menangkap pelaku pengeboman, Amerika Serikat mengultimatum dan memberi pilihan sulit kepada semua negara, memilih menjadi partner dalam rangka perang melawan teroris atau menjadi musuh. Afganistan dan Irak menjadi contoh nyata bentuk perang melawan teroris yang dicanangkan oleh AS dan sekutunya.

Pendefinisian tentang terosisme sesungguhnya masih sangat kabur dan multi interpretasi. Namun, secara arogan AS mengklaim diri sebagai satu-satunya pihak yang berhak menentukan siapa yang pantas disebut teroris. Kemudian jika melihat tren war on terorism yang digencarkan AS dan sekutunya dewasa ini maka tidaklah salah jika kita mengambil kesimpulan bahwa sesungguhnya yang dianggap teroris oleh Amerika dan sekutunya adalah Islam. Hal ini salah satunya terlihat dari publikasi AS tentang daftar Teroris yang mana hampir semua yang masuk daftar adalah orang Islam dan atau organisasi bernuansa Islam. Isu terorisme oleh AS, sekutu, dan antek-anteknya dijadikan sebagai amunisi dan argumentasi untuk menghancurkan musuh musuh mereka, untuk membendung arus kebangkitan Islam, serta untuk melemahkan negeri-negeri islam.

War on terorisme semata-mata adalah strategi politik bangsa barat dengan AS sebagai gembongnya. Secara alamiyah teroris itu pastilah ada. Fakta itu tidak bisa dinafikan. Akan tetapi pantas kita pertanyakan ketika perang melawan terorisme yang digemborkan oleh AS dan sekutunya berbentuk penyerangan atas negeri-negeri Islam, penangkapan-penangkapan para aktivis Islam, serta pem-blacklist-an organisasi-organisasi Islam.

Akhirnya, kita selaku ummat islam harus sadar sesadarnya bahwa isu terorisme adalah alat yang digunakan oleh AS, sekutu, serta antek-anteknya untuk membungkam arus kebangkitan Islam. Tidak ada pilihan lain bagi kita selaku kaum muslimin kecuali kita harus melawannya dengan ‘perang’ juga, yakni perang opini tanpa kekerasan#. Allahua’lam


Fahrur Rozi

Mahasiswa FISIP UNPAD Bandung

Minggu, Agustus 03, 2008

Kemerdekaan RI

href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CBALE-1%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml">

Kemerdekaan Semu

Sebelum kita mengibarkan bendera di depan rumah, ada baiknya kita bertanya dalam hati apakah saat ini kita benar-benar dalam kondisi merdeka?. Ummat dengan pemikirannya yang kental akan nasionalisme ternyata memahami kemerdekaan sebatas apa yang termaktub dalam buku sejarah SD yakni pada bulan Agustus ini Indonesia terbebas dari penjajahan dan ummat memaknai kemerdekaan hanya sebatas seremonial tahunan belaka.


Kita harus membuka mata lebar-lebar bahwa saat ini negeri ini tidak benar-benar merdeka!. Kita masih dijajah dengan model penjajahan gaya baru. Kalau dahulu model penjajahan bersipat kolonialisasi, maka model penjajahan sekarang ‘lebih cantik.’ Hampir semua lini kehidupan kita diintervensi bahkan dikuasai oleh negara-negara barat yang dipimpin oleh AS. Mulai dari aspek pemikiran, Politik, Ekonomi, budaya sampai-sampai gaya pakaian pun kita ‘dijajah’ oleh Barat.

Pantasnya rakyat Negeri ini pada tahun ini hanya merayakan 63 tahun lenyapnya penjajahan pisik, dan terus berjuang untuk lepas dari penjajahan gaya neo-liberal yang saat ini menimpa negeri ini serta negeri-negeri kaum muslimin yang lain. Singkatnya kita baru hanya mengenyam kemerdekaan semu dan kita harus sudah memulai perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki yakni merdeka dari semua intervensi, konspirasi agresi, dan legitimasi penjajajah negara imprealis asing.



pilkada

10 AGUSTUS

10 Agustus 2008 nanti kota Bandung akan diramaikan oleh sebuah ‘pesta’ rakyat yang bertajuk pemilihan walikota dan wakil walikota secara langsung.. Terlepas dari berbagai hingar-bingar persiapan Pilwakot, Pilkada langsung, saat ini ibarat ‘koin panas’ yang memiliki dua sisi mata uang. Oleh sebagian orang Pilkada dianggap sebagai ‘buah manis’ demokrasi dan oleh sebagian yang lain dianggap sebagai suatu proses sia-sia, pemborosan uang rakyat, serta menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Pandangan terakhir ini memang ada benarnya karena beranjak dari fenomena kekisruhan Pilkada yang terjadi di berberapa daerah.

Sebelum mencoblos pastilah timbul pertanyaan di benak kita, apakah dengan Pilwakot ini bisa terlahir pemimpin yang mampu membawa perubahan dan mewujudkan kemajuan kota Bandung?

Saat ini bisa dikatakan setiap sisi dan setiap entitas kota Bandung dirundung berbagai permasalahan. Mulai dari masalah ekonomi warga, lingkungan, serta masalah sosial. Untuk mengatasi semua problem tersebut tentunya dibutuhkan sosok pemimpin kota Bandung yang memiliki kapabilitas dan integritas yang mumpuni. Tentunya ketika kita memilih pemimpin tidak semata-mata melihat kapabilitas personal dan track record para Calon saja. Akan tetapi hal penting lain yang harus kita perhatikan juga adalah bagaimana konsep perubahan sistemik yang diusung oleh para calon tersebut. Berdasarkan pengalaman Sudah terlalu banyak kandidat pemimpin yang menawarkan janji-janji kosong-normatif semacam pendidikan dan kesehatan gratis, pengentasan kemiskinan dan penangguran, pemberantasan KKN, dan lain sebagainya. Sekali lagi hal tersebut hanya janji semu belaka karena memang mereka hanya menawarkan solusi tanpa menawarkan juga bagaimana cara kongkrit sistematis untuk merealisasikan solusi tersebut. Kita sebagai rakyat sebelum menentukan pilihan terlebih dahulu harus dengan cermat membaca dan mengamati konsep para calon. Jangan sampai kita membeli karung tanpa kucing!

Jumat, Agustus 01, 2008

presiden 2009

PRESIDEN 2009


Walaupun dijadwalkan masih satu tahun lagi, akan tetapi hingar bingar Pemilu, terutama Pemilu Presiden, sudah mulai menggaung sedari sekarang. Sudah mencuat beberapa nama yang kemungkinan akan bertarung pada Juli 2009 nanti untuk memperebutkan kursi Presiden. Nama-nama tersebut kita ketahui dari pendeklarasian secara langsung, Promosi melalui iklan televisi, maupun dicalonkan oleh Partainya.

Belakangan ini ramai wacana tentang kriteria figur Presiden 2009 apakah berasal dari kalangan muda atau dari kalangan tua. Sebenarnya rakyat seperti kita ini tidak mempermasalahkan tentang umur calon presiden nantinya mau muda ataupun tua. Rakyatpun tidak terlalu mempermasalahkan gelar, titel, ataupun popularitas seseorang yang akan maju sebagai calon presiden nanti.

Berbicara tentang figur pemimpin maka maka tidak terlepas dari permasalahan kriteria seorang pemimpin. Kriteria calon presiden yang dicari oleh rakyat sesungguhnya adalah seseorang yang memiliki Integritas (kepribadian) dan Kapabilitas (kemampuan). Calon yang menjadi pilihan rakyat adalah calon yang memiliki integritas tinggi yang ditandai dengan sifat amanah, jujur, cerdas, dan profesional. Kemudian juga memiliki kapabilitas untuk melaksanakan perubahan sistemik di negeri ini. Jadi kapabilitas seorang calon bukan hanya dilihat dari kemampuan retorika dan manajerialnya, akan tetapi dilihat dari apakah seorang calon tersebut memiliki konsep komprehensif-sistemik untuk menyelesaikan berbagai macam problem bangsa. Intergritas dan kapabilitas ini dinilai oleh rakyat berdasarkan track record seorang calon dalam aktivitas kesehariannya, ketika berhubungan dengan keluarga, berhubungan dengan masyarakat, saat menjadi rakyat dan saat menjadi pejabat yang mengurusi rakyat. Saat ini rakyat sudah cukup cerdas untuk bisa memilih dan memilah figur-figur yang mereka anggap cocok memimpin negeri ini. Rakyat sudah tidak bisa lagi dipengaruhi oleh iklan-iklan atau spanduk-spanduk yang memuji-muji seseorang.

Ketika memilih pemimpinnya, rakyat setidaknya mengamati tiga hal; siapa saja calon yang ada, apa saja program-program mereka, serta bagaimana cara masing-masing dari mereka merealisasikan program-program tersebut.

Jadi, sebenaranya saat ini rakyat sedang dalam posisi mengamati dan memverifikasi figur-figur yang sudah menyatakan diri untuk maju pada pemilu presiden tahun depan. Jika mayoritas rakyat berdasarkan pengamatannya memperoleh kesimpulan bahwa dari calon-calon yang maju tidak ada yang memiliki integritas, konsep dan cara merealisasikan konsep, maka sepertinya rakyat akan memilih untuk tidak memilih alias Golput#

Ospek

Tolak OSPEK Feodal!

Ospek yang setting-an awalnya adalah kegiatan edukasi dan sosialisasi saat ini telah berubah orientasi menjadi kegiatan ecek-ecek yang ga’ jelas. Kegiatan Ospek telah dijadikan budaya sehingga menjadi agenda wajib tahunan hampir semua perguruan tinggi mulai tingkat universitas sampai tingkat jurusan dan anehnya diwajibkan bagi mahasiwa baru.
Para panitia ospek berdalih bahwa; “ospek harus dibudayakan, jika ada kekurangan-kekurangan pada tahun-tahun sebelumnya maka mulai sekarang kita harus memperbaikinya.” Pada faktanya semuanya non sense!, marilah kita buka mata kita lebar-lebar. Dalam kegiatan Ospek –sekeren apapun namanya- pastilah Kental dengan aroma kemaksiatan semisal; setting forum, kekerasan verbal, melalaikan sholat, cambur baur cowok-cewek, memporsir tenaga orang tanpa batas, dll. Cobalah teman-teman berjalan ke kampus UNPAD pada sore dan malam hari, maka kalian akan menemukan banyak rekan-rekan kita yang digelari ‘kaum intelek’ teriak-teriak ga jelas, maksain diri tuk bermuka masam (padahal dalam hatinya tertawa), bercampur baur, dll. Wahai saudaraku apakah kalian tidak sadar bahwa semua itu adalah kemaksiatan?. Ini baru sesi latihan. Dan nantinya ketika tiba hari H maka kondisinya ga jauh berbeda.
Sadarlah, berfikir rasionallah, dan bertobatlah wahai kawan, tidakkah kalian merasa risih atas apa yang kalian lakukan ini?. Ingatlah kawan malaikat kematian mengintai kalian setiap detik, dan takutlah kalian jika ia menjemput kalian pada saat kalian sedang mendzolimi diri sendiri dan orang lain.
Jauh lebih baik kalian sebagai mahasiswa bertindak sebagai kakak yang baik. Lebih baik kalian mengajak adik-adik kalian bersyukur kepada Allah SWT karena bisa masuk perguruan tinggi, lebih baik kalian ta’aruf dengan adik-adik kalian dengan ahsan ga usah pake bentak-bentakan. Ajak adik-adik kalian untuk selalu mengingat allah, selalu mengerjakan ibadah tepat waktu, seru mereka untuk menutup aurat sesuai dengan perintah allah dan rasulNya, ajak mereka kepada kebaikan bukannya menjerumuskan mereka kepada kemaksiatan.
Janganlah kalian menipu mereka, menunjukkan wajah cemberut dan sangar. Tunjukkanlah wajah berseri dan penuh senyuman, janganlah kalian suka mengataka kepada mereka: “kalian harus disiplin waktu”, sedang kalian mengajak mereka untuk melalaikan kewajiban sholat, janganlah kalian sok berkuasa dengan memberikan mereka tugas yang sangat membebani mereka, janganlah kalian pura-pura lupa bahwa Allah dan rasulNya memerintahkan supaya antara laki-laki dan perempuan dewasa itu tidak boleh bercampur baur.
Kita tidak menafikan bahwa ada beberapa teman-teman yang mengisi kegiatan ospek dengan kegiatan-kegiatan yang sipatnya intelektualitas semacam training, diskusi, sharing, kajian, dll. Akan tetapi tolonglah kalau mau mengerjakan kebaikan bo jangan setengah-tengah. Kalau mau mengadakan kegiatan eduakasi ya murni kegiatan itu kegiatan edukasi. Jangan sampai di dalamnya keluar kata-kata yang menyakiti orang lain, jangan sampai di dalamnya bercampur baur laki-laki dengan perempuan, jangan sampai melalikan sholat, jangan sampai membebani orang secara berlebihan, intinya jangan sampai kegiatan yang positif tersebut dibumbui oleh kamaksiatan-kemaksiatan.
Oleh karena itu kawan, mari kita kembalikan Konsepsi Ospek ke Khittoh-nya ospek itu adalah kegiatan pengenalan studi dan lingkungan kampus. Yang mana hal itu dibolehkan oleh syara’ akan tetapi jika dalam penyelenggaraan kegiatan Ospek tersebut terdapat aroma-aroma kemaksiatan, maka kita menyebutnya sebagai kegiatan Feodal dan kita harus menolak kegiatan semacam itu. Bagaimanapun juga kita harus menolak Ospek Feodal!

kasus Suap BLBI

Penjara Ku, Rumah Ku

Sebenarnya kita tidak terlalu kaget mendengar fakta yang terungkap dalam persidangan kasus suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani. Dalam persidangan terungkap bahwa walaupun berada dalam ruang tahanan terdakwa Artalyta dan jaksa Urip bisa dengan leluasa saling telepon-teleponan dalam rangka merancang konspirasi untuk menghadapi persidangan berikutnya.

Kita tidak terlalu kaget karena adalah merupakan rahasia umum bahwa saat ini penjara/ruang tahanan telah mengalami ‘pemekaran’ fungsi secara signifikan sesuai dengan siapa pengisinya. Jika penjara diisi oleh para pejabat atau pengusaha yang terlilit kasus hukum maka penjara oleh mereka difungsikan sebagai ‘rumah kedua’. Hal ini tidak terlepas karena adanya kong kalikong antara mereka dengan aparat. Oleh karena itu tidak aneh jika orang semacam artalyta bisa dengan leluasa bisa merancang strategi dari dalam penjara. Kemudian jika penjara diisi oleh para penjahat tulen maka penjara oleh mereka diibaratkan sebagai sekolah yang mengajarkan life skill. Sehingga tidak aneh jika setelah keluar penjara ilmu dan keterampilan para penjahat menjadi meningkat pesat. Yang tragis adalah jika penjara diisi oleh orang yang tidak bersalah tapi dipersalahkan maka penjara bagi mereka adalah ibarat neraka. Siksaan demi siksaan menghampiri mereka. Bahkan jika tidak sanggup bertahan, penjara bisa jadi menjadi tempat pertama mereka melakukan kejahatan.

Kasus konspirasi dari balik penjara dalam kasus suap yang belibatkan Jaksa Urip dan Artalyta baru-baru ini menambah catatan kelam amburadulnya sistem hukum kita. Salah satunya sistem pengawasan dalam penjara. Karena minimnya sistem pengawasan maka tersangka/narapidana bisa dengan seenaknya berkomunikasi dari dalam penjara. Faktanya bukan hanya bisa berkomunikasi, dalam kasus yang lain ditengarai para pelaku kriminal bahkan bisa sampai mengendalikan jaringan Narkotika dari balik jeruju besi.

Kasus ini seharusnya bisa membuat kepolisian dan kejaksaan merasa malu dan kemudian segera berbenah diri. Kepolisian dan kejaksaan harus memposisikan kembali penjara sebagai ruang sanksi sekaligus ruang instrospeksi bagi tersangka kasus kejahatan. Keamanan dan pengawasan harus diperketat terutama sekali bagi para tersangka kasus korupsi.

Kasus konspirasi dari balik trali besi antara Artalyta dan Jaksa Urip menyadarkan kita akan sedemikian lemahnya sistem hukum kita. Sepertinya upaya pemberantasan korupsi belum akan efektif membersihkan negeri ini jika kita hanya mengandalkan agresivitas KPK saja akan tetapi perlu juga kita mendorong upaya perbaikan internal institusi penegak hukum, memperberat sanksi bagi oknum aparat yang bermain mata dengan para tersangka/terpidana, serta memperberat hukuman bagi para pelaku korupsi. Dengan langkah-langkah ini kita berharap negeri ini bisa terbebas dari berbagai wabah salah satunya wabah korupsi.

Jumat, Juli 11, 2008

Malu untuk (tidak) Korupsi

KORUPSI TIADA HENTI *


Zaman ini –kalau bisa dikatakan- hampir semua lini dan semua person Penyelenggara Negara terlibat korupsi. Jika kita mengamati perkembangan pengungkapan kasus korupsi, sadar atau tidak saat ini frame tentang korupsi bukan lagi menyangkut sebuah tindak kriminal melainkan telah beralih menjadi sebuah gaya hidup. Malu untuk (tidak) korupsi!

Beberapa waktu yang lalu mungkin kita tercengang dan tidak terima ketika LSM Transparansi Internasional Indonesia (TII) merilis hasil survei bahwa Indonesia menempati posisi ke-3 Negara terkorup di Asia. Akan tapi kita dihentakkan dengan fakta-fakta mencengangkan tentang praktik korupsi yang menggurita. Bagaimana tidak, anggota DPR saja yang disebut sebagai ‘anggota dewan yang terhormat’, serta bertitel ‘wakil rakyat’ banyak diantaranya yang diciduk KPK karena kasus Korupsi. Kemudian Kejaksaan Agung yang dipercaya sebagai salah satu instrumen pemberantasan korupsi ternyata petinggi-petingginya ‘bermain mata’ dengan para koruptor. Tidak hanya itu sampai saat ini banyak (dan terindikasi akan terus bertambah) Kepala Daerah yang sudah masuk bui karena kasus Korupsi.

Beranjak dari fenomena tersebut muncul belbagai pertanyaan dibenak kita, bagaimana hal ini bisa terjadi? Lalu apa sebenarnya penyebab maraknya kasus korupsi di negeri ini?. Itu hal yang perlu kita ketahui. Sebenarnya jika kita berfikir mendalam, penyebab korupsi –seperti kasus kejahatan lainnya- tidak terlepas karena adanya Niat Dan Kesempatan. Cuma dua hal itu. Niat berkaitan erat dengan keperibadian/karakter para penyelenggara negara dan Kesempatan berkaitan dengan sistem Penyelenggaraan Negara.

Para koruptor adalah orang-orang yang bermental bobrok dan tidak memiliki Iman. Jika para penyelenggara negara telah memahami betul perbuatan korupsi itu adalah Haram maka kesadaran inilah yang akan menjadi pengontrol bagi setiap individu untuk tidak berbuat melanggar hukum Allah SWT.

Akan tetapi tentunya hal yang paling berkontribusi terhadap maraknya tindak korupsi adalah rusaknya sistem politik di negeri ini. Kerusakan sistem inilah yang sesungguhnya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada aparatur pemerintahan maupun rakyatnya untuk beramai-ramai melakukan Korupsi. Sistem politik dan pemerintahan kita telah rusak serusak-rusaknya. Kita ambil contoh sistem hukum kita yang tidak jelas, sanksi yang terlalu ringan serta aparat hukum yang lemah dan pandang bulu. Belum lagi konsep pemilu dan pilkada yang melahirkan pemimpin-pemimpin yang berotak dagang, ‘membeli’ jabatan dengan biaya politik yang mahal kemudian ketika terpilih berupaya keras untuk ‘mengembalikan’ modal bila perlu harus dapat untung.

Sistem demokrasi dan korupsi ibarat setali tiga uang. Saling mendukung!. Demokrasi yang ditopang oleh Sekulerisme dan Kapitalisme sudah pasti menjadi lahan subur bagi para koruptor. Aturan hukum di negara demokrasi pastilah cacat dan syarat akan kepentingan Pengusaha dan Penguasa. Dalam negara demokrasi yang bisa menjadi aparat penyelenggara negara pastilah orang yang beruang. Dan untuk memperoleh jabatan dan posisi pastilah mengeluarkan modal. Oleh karena itu korupsi adalah cara paling jitu untuk mengembalikan modal. Di dunia ini negara demokrasi (termasuk AS) sudah pasti negara korup.

Lalu apakah kita akan berdiam diri menonton fenomena ini?. Tentunya jawaban kita pastilah tidak! Dan tidak!. Kita harus bisa memformulasikan solusi yang solutif untuk memberantas praktik korupsi ini. Untuk menangani kasus korupsi harus dilakukan dua pendekatan penyelesaian sekaligus yakni pendekatan praktis dan pendekatan sistemik. Pendekatan praktis yang bisa diterapkan salah satunya seperti yang dicontohkan oleh khalifah Umar Bin Khaththob RA. Yakni sistem pembuktian terbalik dimana setiap aparat penyelenggara negara yang akan diangkat terlebih dahulu dihitung jumlah kekayaan pribadinya sebelum dilantik, lalu dihitung kembali saat dia diberhentikan. Jika terdapat indikasi jumlah tambahan harta yang tidak wajar maka harta tersebut harus disita.

Akan tetapi tentunya hal yang harus segera kita laksanakan jika ingin melihat kehidupan kita bersih dari korupsi adalah melaksanakan perubahan sistemik. Sistem politik dan pemerintahan yang ada saat ini harus segera dirubah dengan sistem yang telah terbukti dan teruji lebih baik yakni dengan sistem islam yang diterapkan oleh Daulah Khilafah Islamiyyah. Hanya dengan langkah tersebut kehidupan kita akan lebih baik. Insyaallah


Kontak: 0899 789 3977