Jumat, Agustus 01, 2008

kasus Suap BLBI

Penjara Ku, Rumah Ku

Sebenarnya kita tidak terlalu kaget mendengar fakta yang terungkap dalam persidangan kasus suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani. Dalam persidangan terungkap bahwa walaupun berada dalam ruang tahanan terdakwa Artalyta dan jaksa Urip bisa dengan leluasa saling telepon-teleponan dalam rangka merancang konspirasi untuk menghadapi persidangan berikutnya.

Kita tidak terlalu kaget karena adalah merupakan rahasia umum bahwa saat ini penjara/ruang tahanan telah mengalami ‘pemekaran’ fungsi secara signifikan sesuai dengan siapa pengisinya. Jika penjara diisi oleh para pejabat atau pengusaha yang terlilit kasus hukum maka penjara oleh mereka difungsikan sebagai ‘rumah kedua’. Hal ini tidak terlepas karena adanya kong kalikong antara mereka dengan aparat. Oleh karena itu tidak aneh jika orang semacam artalyta bisa dengan leluasa bisa merancang strategi dari dalam penjara. Kemudian jika penjara diisi oleh para penjahat tulen maka penjara oleh mereka diibaratkan sebagai sekolah yang mengajarkan life skill. Sehingga tidak aneh jika setelah keluar penjara ilmu dan keterampilan para penjahat menjadi meningkat pesat. Yang tragis adalah jika penjara diisi oleh orang yang tidak bersalah tapi dipersalahkan maka penjara bagi mereka adalah ibarat neraka. Siksaan demi siksaan menghampiri mereka. Bahkan jika tidak sanggup bertahan, penjara bisa jadi menjadi tempat pertama mereka melakukan kejahatan.

Kasus konspirasi dari balik penjara dalam kasus suap yang belibatkan Jaksa Urip dan Artalyta baru-baru ini menambah catatan kelam amburadulnya sistem hukum kita. Salah satunya sistem pengawasan dalam penjara. Karena minimnya sistem pengawasan maka tersangka/narapidana bisa dengan seenaknya berkomunikasi dari dalam penjara. Faktanya bukan hanya bisa berkomunikasi, dalam kasus yang lain ditengarai para pelaku kriminal bahkan bisa sampai mengendalikan jaringan Narkotika dari balik jeruju besi.

Kasus ini seharusnya bisa membuat kepolisian dan kejaksaan merasa malu dan kemudian segera berbenah diri. Kepolisian dan kejaksaan harus memposisikan kembali penjara sebagai ruang sanksi sekaligus ruang instrospeksi bagi tersangka kasus kejahatan. Keamanan dan pengawasan harus diperketat terutama sekali bagi para tersangka kasus korupsi.

Kasus konspirasi dari balik trali besi antara Artalyta dan Jaksa Urip menyadarkan kita akan sedemikian lemahnya sistem hukum kita. Sepertinya upaya pemberantasan korupsi belum akan efektif membersihkan negeri ini jika kita hanya mengandalkan agresivitas KPK saja akan tetapi perlu juga kita mendorong upaya perbaikan internal institusi penegak hukum, memperberat sanksi bagi oknum aparat yang bermain mata dengan para tersangka/terpidana, serta memperberat hukuman bagi para pelaku korupsi. Dengan langkah-langkah ini kita berharap negeri ini bisa terbebas dari berbagai wabah salah satunya wabah korupsi.

Tidak ada komentar: