Sabtu, Maret 29, 2008

KRIMINALITAS DALAM PRESPEKTIF ISLAM

Kriminalitas di negara ini kian meningkat. Realita ini menjadikan negara yang mengadopsi sistem hukum sekularistik ini amburadul, tak karuan, parah dan mencemaskan. Kriminalitas itu sendiri terjadi diberbagai tempat di seluruh wilayah Indonesia. Dan, boleh dibilang tiada ada hari tanpa kriminalitas. Setiap hari kita bisa saksikan berbagai pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik mengupas liputan mengenai berbagai kriminalitas. Beragam kriminalitas kerap muncul dan menghiasi berita media. Sebenarnya, disamping berita yang terliput, namun masih banyak lagi kriminalitas lain yang lepas dari liputan media.
Saat ini dengan sangat mudah kita menemukan hampir semua bentuk-bentuk kriminalitas seperti : Pencurian, Pembunuhan, Penganiayaan, Perjudian, Pornografi, Perkosaan, Percabulan, Prostitusi, Praktik Penyimpang Seks, Miras, Narkoba, Premanisme, korupsi, dan berbagai bentuk-bentuk lain yang sebelumnya mungkin belum pernah kita dengar.

Kriminalitas dan Hukum Sekularis-Kapitalis
Pelaksanaan hukum di Indonesia memiliiki banyak kelemahan atau kekurangan. Paling tidak ada tiga faktor signifikan yang melatarbelakangi kelemahan tersebut, yakni : Pertama Produk Hukum, Kedua Penegak Hukum, dan ketiga Sanksi (Hukuman).
Diakui atau tidak, realita merajalelanya kriminalitas menunjukkan bahwa eksistensi hukum barat telah gagal memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam masyarakat, dan telah gagal pula memanusiakan manusia. Hukum positif merupakan produk kehendak rakyat tanpa terikat dengan agama. Apa saja yang dikehendaki rakyat, jika didukung oleh suara mayoritas, maka dilegalkan menjadi sebuah hukum. Hukum dengan sendirinya berubah-ubah sesuai dengan keinginan suara mayoritas rakyat. Jika arus suara mayoritas menghendaki suatu hukum tertentu, maka suara minoritas termarginalkan. Walhasil, dengan prinsip-prinsip ini banyak dijumpai hukum (undang-undang) yang bertentang dengan norma agama dan etika

Islam Memandang Tindak Kejahatan
Islam menganggap bahwa kejahatan adalah perbuatan-perbuatan tercela (al-qabih). Sedangkan yang dimaksud dengan tercela (al-qabih) adalah perbuatan-perbuatan yang Allah cela. Itu sebabnya, suatu perbuatan tidak dianggap jahat kecuali jika ditetapkan oleh syara’ bahwa perbuatan tersebut tercela. Ketika syara’ telah menetapkan bahwa perbuatan itu tercela, maka sudah pasti perbuatan tersebut disebut kejahatan, tanpa melihat lagi apakah tingkat dan jenis kejahatan tersebut besar ataupun kecil. Syara’ telah menetapkan perbuatan tercela sebagai dosa (dzunub) yang harus dikenai sanksi. Jadi, dosa itu substansinya adalah kejahatan.
Kejahatan sendiri bukan berasal dari fitrah manusia. Kejahatan bukan pula semacam “profesi” yang diusahakan oleh manusia. Kejahatan bukan juga ‘penyakit’ yang menimpa manusia. Kejahatan (jarimah) adalah tindakan melanggar aturan yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Rabbnya, dengan dirinya sendiri, dan hubungannya dengan manusia lain. Allah Swt telah menciptakan manusia lengkap dengan potensi kehidupannya, yaitu meliputi naluri-naluri dan kebutuhan jasmani. Naluri-naluri dan kebutuhan jasmani adalah potensi hidup manusia yang mampu mendorong manusia untuk melakukan pemenuhan terhadap potensi hidupnya. Manusia yang mengerjakan suatu perbuatan yang muncul dari potensi hidup tadi, adalah dalam rangka mendapatkan pemenuhan terhadap potensi hidupnya.
Meskipun demikian membiarkan pemenuhan itu tanpa aturan, akan menghantarkan kepada kekacauan dan kegoncangan. Juga akan menghantarkan kepada pemenuhan naluri maupun kebutuhan jasmani yang salah, atau pemenuhan yang tercela. Oleh karena itu, ketika Allah Swt. mengatur perbuatan-perbuatan manusia, Allah juga telah mengatur pemenuhan terhadap naluri-naluri dan kebutuhan jasmani harus diatur dan sesuai dengan hukum. Syari’at Islam telah menjelaskan kepada manusia, hukum atas setiap peristiwa yang terjadi. Itu sebabnya Allah Swt. mensyari’atkan halal dan haram. Syara’ mengandung perintah dan larangan-Nya, dan Allah Swt. meminta manusia untuk berbuat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah Swt. dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Jika menyalahi hal tersebut, maka manusia telah melakukan perbuatan tercela, yakni melakukan kejahatan. Oleh karena itu, orang-orang yang berdosa harus dikenai sanksi (‘iqab). Dengan demikian, manusia dituntut untuk mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Perintah dan larangan tersebut tidak akan berarti sama sekali jika tidak ada sanksi bagi orang yang melanggarnya. Syari’at Islam menjelaskan bahwa bagi pelanggar akan dikenai sanksi di akhirat dan di dunia. Allah Swt. akan memberi sanksi di akhirat bagi pelanggar, dan Allah juga akan mengadzabnya kelak di hari kiamat
Sanksi (‘iqab) disyari’atkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan
Allah Swt. berfirman:

‘Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.’ (TQS. al-Baqarah [2]:179)
Maksud ayat tersebut bahwa di dalam pensyari’atan qishash bagi kalian, yakni membunuh lagi si pembunuh, terdapat hikmah yang sangat besar, yaitu menjaga jiwa (manusia). Sebab, jika pembunuh mengetahui akan dibunuh lagi, maka ia akan merasa takut untuk melakukan pembunuhan. Itu sebabnya, di dalam qishash ada jaminan hidup bagi jiwa. Pada ghalibnya, jika orang berakal mengetahui bahwa bila ia membunuh akan dibunuh lagi, maka ia tidak akan melakukan pembunuhan tersebut. Dengan demikian, ‘uqubat (sanksi-sanksi) berfungsi sebagai zawajir (pencegahan). Keberadaannya disebut sebagai zawajir, sebab dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan.
Sanksi di dunia bagi para pendosa atas dosa yang dikerjakannya di dunia dapat menghapuskan sanksi di akhirat bagi pelaku dosa tersebut. Hal itu karena ‘uqubat berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Keberadaan uqubat sebagai zawajir, karena mampu mencegah manusia dari perbuatan dosa dan tindakan pelanggaran. Keberadaan ‘uqubat sebagai zawabir, dikarenakan ’uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara di dunia. Dalilnya adalah apa diriwayatkan oleh Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit ra berkata:

“Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu majelis dan beliau bersabda, “Kalian telah membai’atku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina, kemudian beliau membaca keseluruhan ayat tersebut. “Barangsiapa diantara kalian memenuhinya, maka pahalanya di sisi Allah, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu maka sanksinya adalah kifarat (denda) baginya, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu, maka Allah akan menutupinya, mungkin mengampuni atau mengadzab.”

Hadits ini menjelaskan bahwa sanksi dunia diperuntukkan untuk dosa tertentu, yakni sanksi yang dijatuhkan negara bagi pelaku dosa, dan ini akan menggugurkan sanksi akhirat.
Dengan demikian, tidak ada satu sistem hukum-pun di dunia ini yang serupa sebagaimana sistem hukum Islam. Sistem hukum Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) atas tindak kriminalitas sekaligus sebagai penebus (jawabir) atas tindakan jahat yang telah dilakukan oleh si pelaku.

Keampuhan Syariat Islam karena Dorongan Takwa Individu dan Ketegasan Negara
Membicarakan tentang syariat Islam tidak bisa dipisahkan dengan akidah Islam. Sebab, syariat Islam muncul dan berasal dari akidah Islam. Oleh karena itu syariat Islam tidak akan dapat tegak di tengah-tengah masyarakat, kecuali masyarakat tersebut telah menjadikan akidah Islam (tentu juga syariatnya) sebagai pandangan hidup, sebagai ideologi (mabda)-nya. Sehingga masyarakat tersebut memiliki ciri khas sebagai masyarakat Islam, yang menjalankan sistem hukum (peraturan) Islam secara total.
Al-Quran telah menggandeng keimanan dengan kerelaan untuk menerima dan menjalankan sistem hukum Islam. Firman Allah Swt:




‘Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan. Dan mereka menerima dengan sepenuhnya.’ (TQS. an-Nisa [4]: 65)
Ini menunjukkan bahwa keterkaitan antara perkara akidah (yang menyangkut keimanan) dengan syariat (yang menyangkut sikap rela dengan pelaksanaan hukum Islam) tidak dapat dipisahkan. Dan menganggap bahwa Muslim mana saja yang mengaku-ngaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tetapi tidak mau menjalankan hukum-hukum Islam, bahkan menolak penerapan hukum Islam atas dirinya, atas masyarakat dan atas negara, maka sama saja ia dengan orang yang tidak beriman. Seorang Muslim tidak patut melawan dan menolak penarapan sistem hukum Islam. Rasulullah saw bersabda:

«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ»
‘Tidak beriman seseorang sehingga hawa nafsunya (keinginannya) disesuaikan dengan apa yang telah didatangkan bersama aku (yaitu hukum-hukum Islam)’
Sungguh sikap penolakan dan perlawanan atas diterapkannya sistem hukum Islam yang tampak di sebagian masyarakat kaum Muslim –terutama kalangan intelektualnya- sangat berbeda dengan sikap kaum Muslim di masa Rasulullah saw. Ibnu Jarir berkata, telah berkata kepadaku Muhammad bin Khilif, dari Sa’id bin Muhammad al-Harami, dari Abi Namilah, dari Salam maula Hafsh Abi al-Qasim, dari Abi Buraidah dari bapaknya, yang berkata, ‘Kami tengah duduk-duduk sambil minum di atas pasir, dan kami bertiga atau berempat. Di tengah kami terdapat bejana (berisi khamar), dan kami tengah minum-minum menikmatinya. Saat itu Rasulullah saw menerima ayat pengharaman khamar (TQS. al-Maidah [5]: 90-91). Akupun datang kepada sahabat-sahabatku, lalu aku bacakan ayat tersebut sampai pada bagian akhir ayat (yaitu), ‘Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)’. (Ia berkata), sebagian masyarakat (saat itu) tengah memegang minuman di tangannya, sebagian lagi telah meminumnya, dan sebagian lagi (khamarnya) masih berada di dalam cangkirnya. Tatkala cangkirnya diangkat (hampir menyentuh bibirnya), maka seketika itu juga dicampakkannya cangkir dan wadah-wadah khamar, seraya (mereka) berkata: ‘Kami telah berhenti wahai Tuhan kami’ (Tafsir Ibnu Katsir, jilid II/118). Hanya masyarakat yang memiliki akidah mendalam dan terpateri di dalam jiwanyalah yang sanggup menyingkirkan hawa nafsu dan keinginannya yang jahat, seraya mendengar dan mentaati apa saja yang berasal dari Allah Swt dn Rasul-Nya.
Dari sinilah Allah Swt menjadikan hukum-hukum sanksi (‘uqubat) sebagai bentuk hukum praktis sekaligus sebagai metoda pelaksanaan atas perintah maupun larangan Allah Swt bagi siapa saja yang melanggar kewajiban-Nya dan terjerumus dalam tindakan yang diharamkan-Nya.
Tatkala Allah Swt mengharamkan perzinaan, maka Allah Swt mensyariatkan hukum jilid (cambuk) atau rajam atas pelaku zina. Tatkala Allah Swt mengharamkan minum khamar, maka Allah Swt juga mensyariatkan hukum cambuk bagi peminumnya, serta mencela 10 orang yang terlibat di dlam proses produksi minuman khamar. Tatkala Allah Swt melarang untuk membunuh seseorang, maka Allah Swt juga mensyariatkan hukum qishash bagi pelanggarnya. Tatkala Allah Swt melarang tindak pencurian, maka Allah Swt mensyariatkan hukum potong tangan bagi pelaku pencurian. Tatkala Allah Swt mewajibkan untuk mentaati ulil amri (Khalifah), maka Allah Swt mensyariatkan hukum bughat bagi para pembangkang. Tatkala Allah Swt mewajibkan untuk selalu terikat dengan akidah dan syariat Islam, maka Allah Swt mensyariatkan hukum riddah bagi orang-orang yang murtad. Dan banyak lagi.
Semua itu menunjukkan bahwa tidaklah Allah Swt dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu melainkan terdapat pula hukum-hukum (sanksi) bagi yang meninggalkannya. Begitu juga tidaklah Allah Swt dan Rasul-Nya memerintahkan untuk meninggalkan sesuatu, melainkan pasti dijumpai hukum-hukum yang berkaitan dengan ‘iqab (sanksi) atas pelakunya.
Pihak yang menjadi pelaksana atas seluruh hukum-hukum sanksi yang dijatuhkan kepada para pelanggar adalah negara, melalui proses peradilan dengan menghadirkan terdakwa, pendakwa, saksi-saksi maupun bukti. Dalam hal ini syariat Islam juga memiliki sistem hukum yang menjadi salah satu unsur dari sistem peradilan Islam, yaitu hukum-hukum tentang pembuktian (ahkam al-bayyinaat). Bukti merupakan hujjah bagi si pendakwa untuk memperkuat dakwaannya. Bukti juga merupakan penjelas untuk memperkuat dakwaan. Oleh karenanya bukti haruslah bersifat pasti dan meyakinkan. Untuk itu Rasulullah saw meminta bukti-bukti haruslah meyakinkan:

«إِذَا رَأَيْتَ مِثْلَ الشَّمْسِ فَاشْهَدْ وَاِلاَّ فَدَعْ»
‘Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (namun) jika tidak, maka tinggalkanlah’.

Aturan Syara’ untuk Mengurangi Tidak Kekerasan dan Kriminalitas
Hukum Islam sangat lengkap dan mampu menjawab persoalan hukum dan keadilan. Menurut Syeik Abdurrahman al-maliki dalam kitabnya Nidzam al-Uqubat bahwa sanksi didalam hukum Islam terdiri 4 macam, yakni : Had, Jinayat, Ta’zir dan Mukhalafah. Sanksi (uqubat) memiliki fungsi pencegah dan penebus. Syeik Muhammad Muhammad Ismail dalam kitabnya Fikr al-Islam menjelaskan bahwa sanksi berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Pencegah maksudnya dengan sanksi itu orang takut berbuat jahat, karena menyadari hukumannya berat. Penebus maksudnya orang berdosa di dunia harus mendapatkan hukuman agar ia terlepas siksa di akhirat.[1]
Didalam al-Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk berhukum dengannya dan mencampakkan sistem hukum buatan manusia :

“Maka, putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan (al-Qur’an) dan janganlah kamu mengikuti hawa hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (hukum Allah) yang telah datang kepadamu” (TQS. Al-Maidah [5]: 48).

Khatimah
Berdasarkan paparan diatas, maka pelaksanaan sistem hukum Islam termasuk sanksi-sanksi, ditentukan oleh dorongan ketakwaan kaum Muslim dan ketegasan negara di dalam menjalankan sistem hukum Islam. Apabila hal ini terwujud, maka fungsi hukum Islam sebagai pencegah (zawajir) dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun, semua itu memerlukan eksistensi masyarakat Islam –yang memiliki ketakwaan tinggi- yang berada di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah, yang menjalankan sistem hukum Islam secara total. Tanpa itu, mustahil !
· syabab Hizbut Tahrir, aktivis Masjid Unpad
· E-mail : mailto:revolusisystem@yahoo.co.id%20_%20phone : 0899 789 3977

Tidak ada komentar: