Sabtu, Maret 29, 2008

Memimpikan Kesejahteraan Sosial

Kita bisa menarik kesimpulan bahwa kondisi kita saat ini -sebagian besar- masih belum bisa dikatakan ‘sejahtera’. Sejahtera secara sederhana diartikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar seperti kebutuhan jasmani (sandang, pangan, papan), rohani (pendidikan, ketentraman, keadilan), dan sosial (terbebas dari masalah-masalah sosial). (Edi Suharto: 2005). Secara faktual kita melihat kemiskinan dan kelaparan merajalela, pendidikan mahal, ketentraman dan keadilan merupakan barang yang amat langka, dan kita dikepung oleh belbagai masalah-masalah sosial yang menyesakkan pribadi dan menambah kekacauan di tengah-tengah masyarakat.
“Kesejahteraan Sosial” dapat diartikan sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun sprituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat (UU no 6 Tahun 1974 tentang ketentuan pokok Kesejahteraan Sosial).
Definisi di atas adalah bahasa ‘langit’ yang tampaknya jauh panggang dari api. Lawan dari sejahtera adalah nelangsa atau sengsara. Secara lahiriyah (materi), kelaparan, gizi buruk, kejahatan, dan masalah-masalah sosial amat akrab dengan kehidupan kita. Secara batiniyah (spiritual) lebih parah lagi. Kenelangsaan batin bukan hanya melanda orang miskin saja, orang kaya sekalipun bahkan banyak yang mengalaminya. Dihadapan kita banyak tersaji berbagai berita tentang bunuh diri, mewabahnya penyakit stroke dan jantungan, depresi (dalam bentuk stress, gila, dan lain-lain). Kasus teranyer yakni korupsi merupakan salah satu bentuk kenelangsaan batiniyah. Kenapa kasus korupsi merajalela?, ya salah satunya karena Batin para pelaku korupsi (koruptor) tadi nelangsa, kering, gersang, dan lumutan.
Salah satu premis yang ingin saya paparkan disini adalah bahwa kesejahteraan sosial bukanlah sifat melainkan kondisi. Kesejahteraan sosial bukanlah suatu istilah normatif yang kamuflase alias mengawang-ngawang. Akan tetapi kesejahteraan merupakan suatu kondisi dan realitas yang memang sangat mungkin untuk kita wujudkan. Memang situasi kehidupan kita saat ini ‘mensetting’ kita untuk merasa pesimis, skeptis dan fatalis. Tetapi bagaimanapun juga sejarah kehidupan masa lalu membuktikan bahwa kesejahteraan sosial dalam makna kondisi memang terwujud. Kita bisa membaca dalam buku sejarah bagaimana dulu pada saat kekhilafahan Umayyah berkuasa (terutama ketika dipimpin oleh Umar bin abdul aziz) para petugas Negara sangat sulit menemukan orang yang mau menerima sedekah karena memang sebagian besar rakyat berada dalam kondisi sejahtera, kemudian pendidikan digratiskan, kapitalisasi dan monopoli ‘diharamkan’ serta ketenangan dan keamanan masyarakat terjamin.
Lalu kemudian muncul pertanyaan besar dibenak kita, apakah ‘mimpi’ kesejahteraan sosial tersebut seperti dalam ilustrasi diatas mampu kita realisasikan saat ini? Atau juga pertanyaan besar lain, bagaimana cara mewujudkan kesejahteraan sosial dalam makna kondisi tersebut?.
Inilah sebenarnya pertanyaan besar kita yang mana banyak pakar dan ahli mencoba memberikan jawaban secara praktis dan teoritis. Pakar ekonomi menawarkan solusi kebijakan ekonomi, para politikus menggunakan pendekatan kebijakan politik-negara, sebagian ahli agama menggunakan pendekatan perbaikan akhlak, para budayawan menggunakan pendekatan ‘pembenahan’ moral dan kultural bangsa. Atau juga para reformis yang menawarkan pendekatan perombakan sistem kehidupan guna mewujudkan kesejahteraan yang komprehensif.
Maka sebagai penutup dari tulisan ini, sudah sewajarnyalah bagi kita untuk menjadikan kesejahteraan sosial sebagai target riil kita. Sekali lagi ditekankan disini bahwasanya kondisi kesejahteraan sosial yang komprehesif bukanlah mimpi belaka. Namun masalahnya adalah terkait cara bagaimana mewujudkan target tersebut. Ada berbagai macam penawaran cara dan metode, ada berbagai macam pendapat dan teori, serta ada berbagai macam kebijakan dan upaya untuk merealisasikan kesejateraan sosial. Namun sejauh ini semua cara, metode, pendapat, teori, kebijakan, dan upaya-upaya yang telah diusahakan tersebut telah tumpul dan tidak efektif. Hal ini terjadi karena upaya-upaya tadi bersifat pragmatis, parsial, dan menyentuh kulit luar saja. Oleh karena itu marilah kita belajar dari pengalaman. Yakni berupaya mewujudkan kondisi kesejahteraan sosial bukan dengan upaya-upaya, pendapat, dan kebijakan yang masih bersipat pragmatis tadi melainkan dengan mengurai, menemukan, dan memecahkan akar masalahnya. Saya berpendapat bahwa akar masalah sulitnya kita mewujudkan kesejahteraan sosial karena system kehidupan kita ternyata bukan mensejahterakan akan tetapi menelangsakan. Maka sudah barang tentu system kehidupan kita saat ini dievaluasi kemudian diganti dengan system kehidupan yang memang shahih dan tentunya mensejahterakan.

Tidak ada komentar: